Jumat, 27 Februari 2009

Cerminan


Membongkar Makna Kecacatan

Orang-orang dengan tubuh yang berbeda seperti tangan cuman satu, kaki lumpuh, tidak bisa melihat (buta), tidak bisa mendengar (tuli) dan lain sebagainya biasa dalam keseharian masyarakat diistilahkan sebagai “penyandang cacat”. Sebuah terma yang mempunyai makna orang yang mengidap “kecacatan”, “ketidakmampuan" bahkan “aib”.

Namun, pernahkah diperjelas apa sebenarnya definisi “cacat” (disability) tersebut? Apakah cacat dapat dibenarkan dengan bila selalu dihubungkan dengan kondisi tubuh yang berbeda dengan bisa? Jika memang “iya” bukankah setiap tubuh orang selalu berbeda antara satu dengan yang lain, wajah, warna kulit hingga rambut? Cacat menurut siapa? Dari mana ketegori tersebut hadir?

Jika dalam sebuah krumunan masyarakat terdapat seribu orang berkaki satu, dan satu orang berkaki dua, maka siapa yang yang berhak dianggap cacat? tentu saja orang berkaki genap tersebut yang dianggap cacat. Jika sebuah pulau nun-jauh terdapat seribu orang berkaki satu itu menjalani kehidupan mereka, dapat dipastikan semua produk kebudayaan, alat-alat masak, bentuk rumah, tata kota, dan semua ornamen-ornamen yang ada tentu akan menyesuaikan dengan tubuh mereka. Sepeda atau motor dipastikan bukan beroda dua, dan seterusnya. Semuanya menyesuaikan dengan konstruksi tubuh yang yang dimiliki. Definisi cacat yang dan beredar dalam alam kesadaran masyarakat seperti sekarang tidak berlaku lagi.

Karena diskursus normalitas telah mendominasi, akibatnya semua struktur sosial kini terwujud dan hadir untuk meneguhkan normalitas itu sendiri. Dapat kita cerna berbagai fasilitas ruang publik seperti trotoar, terminal, kereta, tangga jembatan penyebrangan, tempat ibadah, tempat pendidikan, semuanya bias akan normalitas. Bahkan berdasar pada survey dari 35 gedung milik publik hanya ditemukan 0,3 persen yang memberikan akses untuk dapat dinikmati bagi orang-orang difabel (Soldier, edisi ke-2, 2005).

Dengan dasar bahwa struktur sosial saat ini didominasi oleh struktur normalitas, maka difabel tidak lain masuk perangkap dalam struktur sosial tersebut. Lebih tepatnya “kecacatan” pada hakekatnya merupakan hasil “kontruksi sosial” yang tereproduksi oleh struktur dominan. Sebagaimana kontruksi sosial kaum laki-laki yang menyubordinasi kaum perempuan. Kontruksi sosial tentang kecacatan tersebut masuk dalam segala lini kehidupan, dan alam bawah sadar manusia, sehingga ketegori “cacat” merupakan suatu kemasan yang seolah-olah benar adanya dan tidak perlu digugat.

Kontruksi dan sikap atas kaum difabel tak ubahnya seperti “orang gila” yang dilukiskan sangat indah oleh Michel Foucault dalam Madness and Civilization : A history of insanity and age of reason (1988). Yakni bagaimana sebuah diskursus yang lahir dari rahim misi pencerahan: modernitas, melegitimasi proses pengekslusian orang-orang gila. Paska abad pertengahan, orang-orang penderita lepra lenyap begitu saja, kemudian posisinya digantikan oleh keberadaan orang-orang gila. Mucul berbagai barak dan tempat-tempat yang digunakan untuk memenjarakan orang gila. Proses ini, sebagaimana dikatakan oleh Foucault merupakan proses yang didahului oleh sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/medis atas orang-orang gila tersebut.

Dengan demikian cacat merupakan konstruksi sosial. Sebuah terma yang berjubal dengan kepentingan menempel di salamnya. Sama halnya dengan ilmu pengetahuan sekarang. Benarkah bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasrat suci (pure curiouscity) manusia untuk menjawab permasalahan tersebut, hingga kita melegakan keberadaan ilmu pengetahuan bebas dari kepentingan (interest)? Setidaknya terlalu vulgar bila dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang bersih dan murni dari kepentingan, baik kepentingan, kekuasaan struktur dominan, kelompok, dan kepentingan- kepentingan yang lain, sebab tak ada yang bisa menghindar dari kepentingan. Kesenyapan pertimbangan orang difabel untuk dijadikan bahan refleksi tersebut merupakan kenyataan evidensial akan bias-bias kepentingan orang “normal”.

Tulisan: Slamet Thohari Orang Difabel, Anggota Forum Lafadl, Alumnus Filsafat UGM

Tidak ada komentar: