Senin, 16 Maret 2009

suksesku

Sabtu, 12/05/2007 16:35 WIB

Keberhasilan Tuna Daksa Raih Gelar Dokter Umum
Jakarta - Penderita cacat fisik tidak selamanya hidup terpuruk. Keberhasilan untuk mencapai profesi dokter dapat diacungi jempol. Salah satunya Ninik Kartaatmadja, dokter umum di RSU Budi Asih.

Ninik merupakan penderita tuna daksa, yakni tidak bisa berjalan dengan sempurna karena kakinya kecil sebelah.

Semenjak kecil, Ninik yang bersekolah di sekolah umum selalu menjadi bahan cemoohan teman-temannya sejak di bangku SD hingga SMA. Namun Ninik hanya berucap alhamdulillah saat diejek temannya. Itulah ajaran orangtuanya.

"Saya menjadi lebih kuat saat mengucap alhamdulillah. Dan saya tidak membalas ejekan teman-teman meskipun itu sangat menyakitkan karena itu yang selalu diajarkan ayah," ujar wanita yang berusia 59 tahun ini di sela-sela semiloka "Satu hari mempersiapkan masa depan penyandang cacat anak" di Gedung Sapta Pesona, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (12/5/2007).

Perekonomian orangtua Ninik juga kurang beruntung. Seringkali Ninik berjalan kaki sejauh 2 km menuju sekolah. Padahal Ninik memiliki kaki yang tidak sempurna.

Usai tamat SMA, Ninik melanjutkan pendidikan kedokteran di Universitas Yarsi. Ninik sempat mengikuti seleksi di Fakultas Kedokteran UI, namun keberuntungan tidak mampir dalam hidupnya.

Usaha untuk mendapatkan kuliah kedokteran dicapai Ninik dengan susah payah. Hingga semester IV, Ninik sempat berhenti kuliah karena masalah keuangan.

Kuliah dapat berlanjut saat Ninik bertemu teman adik iparnya dari yayasan Van de Venter Stichtingmaas, milik Belanda. Dari yayasan itulah beasiswa dia dapatkan untuk melanjutkan kuliah kedokteran.

Akhirnya Ninik dapat melajutkan kuliah hingga lulus. Ninik mengaku dirinya menjadi dokter umum karena keinginan bapaknya.

Ninik akan menunggu masa pensiun sebagai dokter umum pada tahun ini. Kegiatannya akan diisi untuk mengawasi ketiga anaknya yang berjumlah tiga orang. Ketiganya kuliah di Universitas Indonesia (UI). Di antara ketiga anaknya ada yang kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Fakultas yang dulu gagal digapai Ninik.

Ninik berpesan, kekuarangan fisik tidak membuat para penyandang cacat frustasi dengan tidak menghasilkan prestasi.

"Jadikanlah kekurangan itu, sebagai alat untuk kita kita maju," pesan Ninik yang mengenakan jilbab panjang berwarna krem itu


Nadhifa Putri - detikNews

Jumat, 27 Februari 2009

Cerminan


Membongkar Makna Kecacatan

Orang-orang dengan tubuh yang berbeda seperti tangan cuman satu, kaki lumpuh, tidak bisa melihat (buta), tidak bisa mendengar (tuli) dan lain sebagainya biasa dalam keseharian masyarakat diistilahkan sebagai “penyandang cacat”. Sebuah terma yang mempunyai makna orang yang mengidap “kecacatan”, “ketidakmampuan" bahkan “aib”.

Namun, pernahkah diperjelas apa sebenarnya definisi “cacat” (disability) tersebut? Apakah cacat dapat dibenarkan dengan bila selalu dihubungkan dengan kondisi tubuh yang berbeda dengan bisa? Jika memang “iya” bukankah setiap tubuh orang selalu berbeda antara satu dengan yang lain, wajah, warna kulit hingga rambut? Cacat menurut siapa? Dari mana ketegori tersebut hadir?

Jika dalam sebuah krumunan masyarakat terdapat seribu orang berkaki satu, dan satu orang berkaki dua, maka siapa yang yang berhak dianggap cacat? tentu saja orang berkaki genap tersebut yang dianggap cacat. Jika sebuah pulau nun-jauh terdapat seribu orang berkaki satu itu menjalani kehidupan mereka, dapat dipastikan semua produk kebudayaan, alat-alat masak, bentuk rumah, tata kota, dan semua ornamen-ornamen yang ada tentu akan menyesuaikan dengan tubuh mereka. Sepeda atau motor dipastikan bukan beroda dua, dan seterusnya. Semuanya menyesuaikan dengan konstruksi tubuh yang yang dimiliki. Definisi cacat yang dan beredar dalam alam kesadaran masyarakat seperti sekarang tidak berlaku lagi.

Karena diskursus normalitas telah mendominasi, akibatnya semua struktur sosial kini terwujud dan hadir untuk meneguhkan normalitas itu sendiri. Dapat kita cerna berbagai fasilitas ruang publik seperti trotoar, terminal, kereta, tangga jembatan penyebrangan, tempat ibadah, tempat pendidikan, semuanya bias akan normalitas. Bahkan berdasar pada survey dari 35 gedung milik publik hanya ditemukan 0,3 persen yang memberikan akses untuk dapat dinikmati bagi orang-orang difabel (Soldier, edisi ke-2, 2005).

Dengan dasar bahwa struktur sosial saat ini didominasi oleh struktur normalitas, maka difabel tidak lain masuk perangkap dalam struktur sosial tersebut. Lebih tepatnya “kecacatan” pada hakekatnya merupakan hasil “kontruksi sosial” yang tereproduksi oleh struktur dominan. Sebagaimana kontruksi sosial kaum laki-laki yang menyubordinasi kaum perempuan. Kontruksi sosial tentang kecacatan tersebut masuk dalam segala lini kehidupan, dan alam bawah sadar manusia, sehingga ketegori “cacat” merupakan suatu kemasan yang seolah-olah benar adanya dan tidak perlu digugat.

Kontruksi dan sikap atas kaum difabel tak ubahnya seperti “orang gila” yang dilukiskan sangat indah oleh Michel Foucault dalam Madness and Civilization : A history of insanity and age of reason (1988). Yakni bagaimana sebuah diskursus yang lahir dari rahim misi pencerahan: modernitas, melegitimasi proses pengekslusian orang-orang gila. Paska abad pertengahan, orang-orang penderita lepra lenyap begitu saja, kemudian posisinya digantikan oleh keberadaan orang-orang gila. Mucul berbagai barak dan tempat-tempat yang digunakan untuk memenjarakan orang gila. Proses ini, sebagaimana dikatakan oleh Foucault merupakan proses yang didahului oleh sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/medis atas orang-orang gila tersebut.

Dengan demikian cacat merupakan konstruksi sosial. Sebuah terma yang berjubal dengan kepentingan menempel di salamnya. Sama halnya dengan ilmu pengetahuan sekarang. Benarkah bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasrat suci (pure curiouscity) manusia untuk menjawab permasalahan tersebut, hingga kita melegakan keberadaan ilmu pengetahuan bebas dari kepentingan (interest)? Setidaknya terlalu vulgar bila dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang bersih dan murni dari kepentingan, baik kepentingan, kekuasaan struktur dominan, kelompok, dan kepentingan- kepentingan yang lain, sebab tak ada yang bisa menghindar dari kepentingan. Kesenyapan pertimbangan orang difabel untuk dijadikan bahan refleksi tersebut merupakan kenyataan evidensial akan bias-bias kepentingan orang “normal”.

Tulisan: Slamet Thohari Orang Difabel, Anggota Forum Lafadl, Alumnus Filsafat UGM

Kamis, 26 Februari 2009

Kuasa Sang Pencipta


Keindahan Patricia

(Foto ini dibuat sudah lama, sebenarnya belum selesai dan mau dilanjutin lagi tapi sayangnya Patricia sedang berada di luar negeri. Semoga Foto-foto ini memberi inspirasi kepada semua orang yang memiliki kemampuan terbatas untuk tidak pantang menyerah. Salam )

Sapuan kuas bambu itu menari lincah di atas kanvas. Mata di balik kacamata itu menyorot tajam mencermati lukisan yang ia kerjakan. Sapuan kuas itu bukanlah tangan yang menggerakkannya, tapi berasal dari gerakan kaki kiri seorang wanita muda bernama Patricia Saerang, 37 tahun. Wanita yang bermukim di kota Cimahi Bandung itu memang terlahir tanpa tangan dan kaki yang normal maka semua pekerjaannya dikerjakan dengan menggunakan kaki kiri termasuk melukis, makan, dan minum.

Wanita muda itu tidak patah arang ketika ada orang berpendapat, "Kamu tidak bisa melukis karena tak punya tangan". Dengan semangat dan tekadnya ia membuktikan bahwa ia bisa melukis menggunakan kaki kiri, karena pikirnya kalau ia bisa menulis dengan kaki mungkin bisa menggambar dengan kaki juga.

Patricia memang keras dengan dirinya sendiri, ia membuktikan pendapat orang seperti di atas salah besar. Dialah orang pertama dari Indonesia yang diterima menjadi anggota AMFPA (Association of Mouth & Foot Painting Artists), sebuah organisasi berpusat di Swiss yang menyokong para seniman yang melukis dengan Mulut dan Kaki karena kehilangan fungsi tangannya karena sakit, kecelakaan atau cacat lahir agar mereka dapat hidup mandiri.

Dengan segala keterbatasannya dan dukungan penuh orang-orang yang mencintainya ia terus mencoba untuk berprestasi. Beberapa karya lukisnya memenangkan penghargaan di Eropa. Dan PT. POS Indonesia pernah memintanya membuat desain yang akan diterbitkan dalam bentuk perangko. Ia ingin karya lukisnya dihargai orang karena memang lukisannya layak dihargai bukan karena ia penyandang cacat. Ia tidak ingin hidup dari belas kasihan orang. Ia ingin menyemangati mereka yang senasib dengannya agar bisa berkarya dan berprestasi.

Menyikapi kondisi fisik tubuhnya Patricia berkata,"Tuhan tidak memberikan saya tangan dan kaki yang normal, tapi Tuhan menganugrahi saya dengan pikiran yang tajam dan kemauan kuat untuk bertahan hidup dan menjadi manusia produktif dan saya beruntung mempunyai orang tua yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan".

Duhai Patricia, indah nian kata-katamu , indahnya semangat hidupmu, indahnya tekadmu. Begitu indahnya kau menyikapi segala keterbatasanmu, seindah karya-karya lukismu. Biarlah orang melihat betapa dunia ini bertambah indah dan penuh warna ketika Tuhan menciptakanmu. (cuplikan matakumatamu.multiply.com)

Sekitar Keadaan


POLIO
Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa latin yang berarti medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus polion.yelitis, pada medula spinalis yang secara klasik menimbulkan kelumpuhan. Pada tahun 1789 Underwood yang berasal dari Inggris pertama kali menulis tentang kelumpuhan anggota badan bagian bawah (ekstremitis inferior) pada anak, yang kemudian dikenal-sebagai poliomielitis. Pada permulaan abad ke 19 dilaporkan terjadi wabah di Eropa dan beberapa tahun kemudian terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu banyak terjadi wabah penyakit pada musim panas dan gugur. Pada tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapat lebih dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara drastis menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di Amerika Serikat kasus terakhir virus polio liar ditemukan pada tahun 1979.

Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai oral polio vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun 1990 telah mencapai UCI. Dalam usaha eradikasi polio mencapai kemajuan sangat bermakna semenjak dilakukannya Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tiga tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 1995, 1996, dan 1997. Pada hari PIN tersebut dapat diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia. Setelah PIN, kasus polio menurun drastis, laporan terakhir menunjukkan bahwa dari pemeriksaan laboratorium hanya ditemukan 7 kasus dengan virus polio liar ( tipe 1,2, dan 3) pada tahun 1995, dan sejak itu tak pernah lagi ditemukan virus polio liar.
Etiologi
Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili Picornaviridae. Dikenal 3 macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif apabila terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet.
Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat, eliminasi polio sejak tahun 1991.

Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di seluruh dunia, kecuali beberapa negara yang sampai saat ini masih ada transmisi virus polio liar yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Namun tidak ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali pada orang yang menderita defisien sistem imun.

Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-fecal, pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis ticlak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular, pada kontak antar rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat serokonversinya lebih dari 90%. Kasus-kasus polio sangat infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu.
Patogenesis
Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada tempat implantasi dalam farings dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukan di daerah tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu minggu setelah timbulnya penyakit, virus terdapat dalam jurnlah kecil di tenggorok, tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja dalam beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid setempat, masuk ke dalam pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf pusat. Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior medula spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan manifestasi poliornielitis yang spesifik.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari. Respons terhadap infeksi virus polio sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari sernua infeksi polio termasuk subklinis tanpa gejala atau asimtomatis. Menurut estimasi rasio penyakit yang tanpa gejala terhadap penyakit yang paralitilk bervariasi dari 50 : 1 sampai 1000 : 1 (rata-rata 200 : 1). Pasien yang terkena infeksi tanpa gejala mengeluarkan virus bersama tinja dan dapat menularkan virus ke orang lain. Sekitar 4% - 8% dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan yang non spesifik tanpa bukti klinis atau laboratorium dari invasi dalam sistern saraf pusat. Sindrom ini dikenal sebagai poliomielitis abortif dengan ciri khas penyembuhan sempurna dan berlangsung kurang dari seminggu.
Meningitis aseptis non paralitik.
Kejadian ini terjadi pada 1-2 % dari infeksi polio, yang didahului oleh gejala prodomal penyakit ringan yang berlangsung beberapa hari. Anak iritabel, peka saraf meningkat, ada gejala kaku kuduk, kaku punggung dan kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh sempurna.
Paralisis flasid atau lumpuh layuh
Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala kelayuhan umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan berlangsung 2 - 3 hari. Pada umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya setelah suhu kembali normal. Pada fase prodromal dapat terjadi bifasik terutama pada anak-anak dengan permulaan gejala ringan dipisahkan oleh periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejala prodromal termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya refieks tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh dan punggung. Penyakit berlanjut dengan paralisis flasid disertai hilangnya refleks tendon dalam, keadaan ini menetap sampai beberapa minggu dan umumnya asimetris. Setelah fase ini lewat, kekuatan kembali, tidak ada gejala kehilangan sensoris atau perubahan kesadaran. Banyak anak dengan poliomyelitis paralitik dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali pada tingkat tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya penyakit pertama kali akan menderita dengan gejala sisa yang permanen.

Curahan hati


Perlu Bantuan Kursi Roda

Aslimah

Musim ujian untuk anak-anak sekolah hampir tiba. Mereka sibuk menyiapkan diri agar bisa lulus dengan nilai yang terbaik. Dan untuk itu, tak sedikit yang mengikuti bimbingan belajar (bimbel) seperti di Primagama, Neutron dan lain sebagainya. Uang tidak jadi masalah. Karena lulus dengan nilai yang terbaik, itulah yang jadi impian.

Kalau kebanyakan siswa terutama dari anak berduit bisa dengan leluasa mengikuti les maupun bimbingan belajar dengan tenang, namun tidak dengan Aslimah. Siswa SMA PGRI 1 Kudus ini, memang selalu saja tersenyum meski keadaan menghimpit.

Dia yang juga sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian sebagaimana teman-temannya yang lain, harus bergelut dengan ketidaknyamanan memakai kursi rodanya yang dirasakan semakin sempit dan kecil.

Aslimah adalah anak yang kurang beruntung. Ia dilahirkan tanpa kaki yang utuh. Jari tangan kanannya juga tidak lengkap. Namun semangatnya untuk belajar, sangat luar biasa.

Ya, meski terlahir sebagai penderita difable, ia selalu bersyukur kepada Allah. Namun dibalik semuanya itu, ia tetaplah anak yang butuh perhatian dan bantuan. Apalagi dia berasal dari anak kurang mampu.

"Untuk sekolah, alhamdulillah ada yang membantu biaya sampai sekarang. Yaitu Ester Whit, kenalannya saat ia belajar di Jogja. Tapi untuk yang lain-lain saya juga masih kebingungan. Karena tidak bisa seratus persen mengandalkan dari keluarga," katanya.

Seperti saat ini, katanya, saya butuh kursi roda. "Yang ini sudah kecil, mas. Jadi kalau jalan tidak nyaman. Makanya, saya mau minta mas ngajarin bikin proposal untuk meminta bantuan Pak Bupati. Saya mau minta bantuan kursi roda."

Ya, kursi roda bagi Aslimah sangat lah vital. Kursi roda itulah yang menjadi pengganti kakinya kemana pun ia pergi. Terutama ke sekolah setiap pagi. Karena untuk naik angkot, banyak supir yang tidak menerima.